RK News - Seorang perempuan muda, Sakinah Dinillah (19), datang ke kantor polisi dengan tubuh penuh luka dan hati penuh harapan. Ia percaya hukum akan melindungi mereka yang terluka. Namun kenyataan pahit menimpa: korban berubah menjadi tersangka.
Luka yang Tak Pernah Didengar
Pada 24 Juni 2025, Sakinah sedang mencuci pakaian di teras rumah suaminya. Tiba-tiba seorang pria berinisial LK menjambak rambutnya, memukul tubuhnya, dan melemparkan botol air minum ke arahnya. Bahkan, menurut kuasa hukum Zamrud Khan, ada orang lain yang ikut memegangi tangannya sehingga ia tak mampu melawan.
Warga sekitar sempat melerai, lalu Sakinah dibawa ke puskesmas untuk visum sebelum melapor ke Polsek Talango. Ia resmi tercatat sebagai pelapor. Namun laporan itu tidak pernah bergerak. Justru LK melaporkan balik ke Polres.
Dari Pelapor Menjadi Tersangka
Ironi semakin dalam ketika pada 17 November 2025, Sakinah dipanggil ke Polres. Ia menduga akan menjelaskan duduk perkara. Namun kenyataan di lapangan justru menghancurkan: statusnya berubah dari pelapor menjadi tersangka, dan ia langsung ditahan selama empat hari.
Kuasa hukum Zamrud Khan menilai penahanan itu tidak memiliki dasar kuat. Pasal yang dikenakan, Pasal 351 ayat (1) KUHP, tidak mengharuskan penahanan. Ia menegaskan, perubahan status Sakinah terjadi karena sejak awal ia tidak didampingi kuasa hukum.
“Bagaimana mungkin korban penganiayaan justru ditahan. Atas dasar apa penyidik menahan klien kami?” tegas Zamrud Khan.
Tekanan Saat Pemeriksaan
Menurut laporan, Sakinah juga mengalami tekanan saat diperiksa. Ia diduga diarahkan untuk mengakui sesuatu yang bukan perbuatannya, bahkan dijanjikan tidak akan ditahan jika bersedia mencabut laporan di Polsek Talango. Situasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi korban ketika menghadapi proses hukum tanpa advokat.
Perjuangan yang Penuh Air Mata
Merasa diperlakukan tidak adil, pihak Sakinah bersama kuasa hukum mendatangi Polres untuk meminta penjelasan langsung kepada Kapolres. Namun mereka pulang dengan hati hampa karena Kapolres sedang berada di luar kota.
Meski begitu, perjuangan tidak berhenti. Kuasa hukum memastikan akan menantang proses penyidikan yang dinilai tidak profesional dan mengajukan keberatan resmi. Bagi mereka, kasus ini bukan sekadar perkara pidana, melainkan simbol getirnya kenyataan: seorang pelapor bisa berubah menjadi tersangka hanya karena datang tanpa pendampingan hukum.
Pertanyaan yang Menyayat
Kini, publik menatap dengan rasa iba. Bagaimana mungkin seorang perempuan muda yang datang sebagai pelapor justru pulang sebagai tersangka? Realitas ini menyayat hati: keadilan bisa tergelincir hanya karena korban tidak didampingi kuasa hukum sejak awal. (red)






Tidak ada komentar:
Write komentar