RK News - Agam, Sumatera Barat — Oktober 2025
Seorang perempuan bernama Nur Amira (37) kini menjadi sorotan publik setelah mengalami dua kali deportasi dan penolakan kewarganegaraan dari dua negara. Kasus ini mengungkap celah serius dalam sistem identitas dan keimigrasian, serta dugaan pencurian data pribadi lintas negara.
Kronologi Kasus
Pada Oktober 2024, seorang warga melaporkan Nur Amira ke Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Agam sebagai imigran gelap asal Malaysia. Menindaklanjuti laporan tersebut, pihak imigrasi memanggil Nur Amira untuk diinterogasi dan memverifikasi status kewarganegaraannya.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa Nur Amira bukan Warga Negara Indonesia (WNI), sehingga status WNI-nya dicabut dan ia dideportasi ke Malaysia.
Namun, setibanya di Malaysia, Nur Amira justru ditolak masuk oleh otoritas Negeri Jiran. Pihak imigrasi Malaysia menyatakan bahwa data kewarganegaraan Nur Amira telah digunakan oleh orang lain, sehingga ia tidak diakui sebagai warga sah. Akibatnya, ia dikembalikan ke Indonesia dan kini kembali ditahan di ruang detensi Imigrasi Agam, menunggu proses deportasi ulang.
Celah Administrasi dan Dugaan Pencurian Identitas
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana seorang WNA bisa memiliki KTP dan KK Indonesia? Imigrasi Sumatera Barat tengah menelusuri prosedur penerbitan dokumen tersebut, yang diduga melibatkan penyalahgunaan sistem kependudukan.
Kepala Kanwil Imigrasi Sumbar, Nurudin, menyatakan bahwa pihaknya akan mengklarifikasi proses penerbitan dokumen kependudukan yang dimiliki Nur Amira. “Ketika yang bersangkutan memiliki KTP, tentu kami ingin tahu bagaimana prosedurnya bisa dilalui oleh warga negara asing,” ujarnya.
Dampak Hukum dan Kemanusiaan
Nur Amira adalah orangtua tunggal yang telah menetap puluhan tahun di Payakumbuh. Kini, ia berada dalam limbo hukum, tidak diakui oleh dua negara dan terancam kehilangan hak hidup yang layak.
Proses pemulangan ke Malaysia terganjal karena dokumen emergency certificate dari Konsulat Jenderal Malaysia di Medan belum terbit. Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI, M Shadiq Pasadigoe, meminta agar kasus ini diselesaikan dengan pendekatan kemanusiaan, tanpa mengabaikan prosedur negara.
“Saya berharap kasus Nur Amira dapat diselesaikan dengan pendekatan kemanusiaan tanpa mengabaikan aturan dan peraturan negara,” ujar Shadiq.
Peringatan Sistemik: Identitas Digital dan Keamanan Negara
Kasus Nur Amira bukan satu-satunya. Indonesia tengah menghadapi gelombang pencurian data identitas, termasuk pembobolan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) yang menyebabkan jutaan data pribadi tersebar di internet. Data seperti NIK, KK, dan riwayat medis diperjualbelikan di forum gelap.
Penangkapan pelaku pencurian data di Minahasa, Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa kejahatan ini bukan hanya soal kebocoran, tapi juga pemerasan dan manipulasi ekonomi. UU Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada 2022 belum mampu mencegah kebocoran masif ini. (AAH)





Tidak ada komentar:
Write komentar